Aug 17, 2021

Proklamator Pembaca dan Penulis

Kisah Soekarno dan Hatta yang Gandrung Menulis 
Kompas.com - 17/08/2021, 11:01 WIB

MENULIS bukan hal yang asing bagi Soekarno dan juga Mohammad Hatta. Malahan founding father ini sudah mengakrabinya sejak usia muda dan punya waktu khusus untuk melakukan aktivitas itu. Sejak ngekos di rumah HOS Tjokroaminoto, yang merupakan Ketua Sarekat Islam, Soekarno beruntung punya privilege untuk membaca buku-buku milik Tjokroaminoto. Hal itu ia ungkapkan dalam otobiografi Soekarno berjudul "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". Buku-buku yang dianggapnya berharga itu rupanya membuka wawasan Soekarno, ia pun mulai aktif menuangkan pemikirannya melalui tulisan.

Artikel pertama Soekarno kemudian terbit pada 21 Januari 1921 di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Soekarno bahkan kemudian diminta untuk menulis rutin di koran itu menggantikan Tjokroaminoto. Kira-kira ada 500 tulisan Soekarno yang dimuat di koran itu. Itu belum termasuk tulisan Soekarno yang juga tersebar di media massa lainnya, seperti Soeloeh Indonesia Moeda dan Fikiran Ra'jat. Beberapa tulisan terkenal pun lahir dari tangan Soekarno, seperti Nasionalisme, Islamisme & Marxisme, Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, Kepada Bangsaku, dan Konsepsi Presiden.

Dalam buku Soekarno "Paradoks Revolusi Indonesia" terbitan Tempo, diceritakan kalau Soekarno bahkan punya nama pena yang sering ia pakai dalam tulisan-tulisannya, yaitu Bima. Kecintaannya pada tokoh pewayangan Bima yang kemudian membuatnya memilih nama itu. Bima dikisahkan memiliki karakter kesatria yang pemberani dan jujur. Tapi bukan hanya karena kagum, Soekarno memakai nama samaran untuk menghindari penangkapan pemerintah Belanda. Minat menulis Sukarno tak hanya berkutat pada ranah politik. Buktinya, saat di diasingkan di Ende, Soekarno justru produktif menulis naskah drama. Terhitung ada sebanyak 12 naskah drama yang dibuatnya, di antaranya misalnya saja Dokter Setan yang terinspirasi cerita film Frankenstein, Rahasia Kelimutu, Rendo, Jula Gubi, KutKuthi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, dan Aero Dinamit.

Tak berbeda dengan Soekarno. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI pertama ini bahkan punya jadwal di atas rata-rata manusia untuk membaca dan menulis. Bayangkan saja, saban harinya, kalau tak ada acara lain, jadwal baca-tulisnya mencapai 9 jam sehari! Waktu itu dibagi menjadi dua, enam jam pagi hari dan tiga jam petang hari. Jadi ya wajar saja, saat karyanya dikumpulkan dan diterbitkan kembali, perlu 6000 halaman buku berukuran 18 cm x 26 cm. Dan semua tulisannya itu, harus dibuat berangkai dalam 10 jilid.   Gaya bahasa dalam tulisan Hatta sendiri dikenal indah, kalimatnya pendek-pendek sehingga mudah dimengerti. "Memang Bung Hatta selalu sibuk dan setiap hari membenamkan diri dalam kamar studinya di perpustakaan untuk membaca dan menulis," ungkap Ny. Rahmi Hatta, istri Mohammad Hatta seperti dikutip dari buku Mohammad Hatta: Sisi Kehidupan Pribadi terbitan Kompas. Ratusan buah pikiran Hatta yang tertuang dalam tulisan memang tak lepas dari buku-buku yang selama hidupnya ia baca. Sampai-sampai ketika ia kecil, hanya ada tiga macam barang yang ia butuhkan; sepeda untuk mengunjungi teman-temannya, lemari untuk menyimpan buku, dan sebuah jam tangan, karena ia sangat sangat disiplin dan tepat waktu.

Waktu akan pulang ke tanah air usai merampungkan studinya di Sekolah Dagang di Rotterdam, Belanda koleksi buku yang akan ia bawa pulang pun berjibun. Tiga orang, yaitu Sutan Sjahrir, Rasjid Manggis, dan Sumadi membantunya untuk mengemas buku-buku itu. Total ada 20 peti dan butuh seminggu untuk mengumpulkan, menyusun, dan mendaftar buku-buku itu. Hingga akhir hayatnya, koleksi buku Bung Hatta mencapai 10.000 buku dan yang paling tua tahun 1850. Kini koleksi itu tersimpan rapi di perpustakaan keluarga.

Sumber: Kompas, 17 Agustus 2021
Penulis : Kontributor Sains, Monika Novena
Editor : Bestari Kumala Dewi

Dec 30, 2017

Lakon Sun Go Kong dan Sie Jin Kwi dalam Wayang Potehi

Nonton Wayang Potehi, Anak Bisa Liburan Sambil Belajar

KURNIASIH BUDI
Kompas.com - 29/12/2017, 19:41 WIB
Pementasan Wayang Potehi yang digelar Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang di Taman Kaldera, Depok, Jawa Barat.
Pementasan Wayang Potehi yang digelar Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang di Taman Kaldera, Depok, Jawa Barat.(Dok. Rumah Cinwa)

JAKARTA, KOMPAS.com - Libur pergantian tahun, ajak anak Anda mengikuti aktivitas kreatif bermuatan edukasi. Salah satu kegiatan bisa dilakukan adalah belajar mengenal Wayang Potehi di Taman Kaldera yang berada di kawasan Jatijajar, Tapos, Depok.

Anak-anak dapat mencoba sejumlah permainan tradisional sambil menikmati pementasan Wayang Potehi,  menyimak dongeng cerita Wayang Mahabharata, dan mewarnai gambar wayang.

Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang bersama Taman Kaldera mengenalkan kesenian Wayang Potehi melalui pementasan lakon Sun Go Kong dan Sie Jin Kwi Satria Utama yang akan digelar Sabtu (30/12/2017). Pertunjukan digelar dua kali yakni pada pukul 10.00 dan 14.00.

Wayang Potehi merupakan salah satu budaya akulturasi, percampuran budaya China dan Jawa. Cerita yang diangkat umumnya kisah-kisah tentang dinasti dalam kekaisaran China.

Wayang potehi sebagai wayang kantong sangat unik, fleksibel, dan sederhana. Mudah dimainkan dan tidak terikat pada satu cerita epos tertentu," tutur Pimpinan Sanggar Budaya Cinta Wayang (Rumah Cinwa) Dwi Woro Retno Mastuti, Rabu (28/12/2017).

Pementasan Potehi memang kurang populer sebab sempat dilarang pada pemerintahan orde baru. Perubahan terjadi saat Abdurrahman Wahid menjabat Presiden Republik Indonesia pada era reformasi. Wayang Potehi boleh dipentaskan lagi di kelenteng-kelenteng.

Sebagai wayang para dewa, Wayang Potehi masih dipentaskan di kelenteng sebagai bagian dari ritual umat Konghucu.

Saat ini para dalang Wayang Potehi umumnya telah berusia lanjut. Sayangnya, belum ada tanda-tanda lahirnya generasi penerus dalang Potehi.

"Regenerasi perlu dilakukan mengingat dalang-dalang Potehi sudah semakin sepuh," ungkapnya.

Wayang kekinian

Sejak tujuh belas tahun lalu Woro tergerak untuk mengumpulkan boneka Wayang Potehi sedikit demi sedikit. Ia pun membeli panggung Potehi bekas.

Kebetulan, seorang sahabatnya, Paul Himawan, juga tertarik mengumpulkan boneka Potehi. Ia membeli boneka Potehi dengan alasan sederhana agar pengrajin boneka Wayang Potehi dapat terus berkarya.

Boneka-boneka Potehi yang mereka kumpulkan pun cukup untuk mementaskan pagelaran Wayang Potehi. Tapi, siapa yang akan memainkannya?

Woro tak habis akal. Pada November 2014, ia mengundang sejumlah mahasiswa Program Studi Jawa Universitas Indonesia untuk bermain Wayang Potehi. Mereka tampak tertarik mengeksplorasi Potehi sebagai wayang yang kekinian.

Sanggar budaya Rumah Cinta Wayang memperkenalkan Wayang Potehi pada anak-anak. Pagelaran Wayang Potehi menjadi sarana pendidikan karakter bagi anak-anak.
Sanggar budaya Rumah Cinta Wayang memperkenalkan Wayang Potehi pada anak-anak. Pagelaran Wayang Potehi menjadi sarana pendidikan karakter bagi anak-anak.(Dok. Rumah Cinwa)

Dengan berbagai inovasi, mereka meracik Wayang Potehi menjadi tontonan yang menghibur dan tetap memiliki pesan moral. Lakon yang dimainkan saat itu adalah Sie Jin Kwi.

Kisah epos Sie Jin Kwi mewariskan nilai-nilai kehidupan seperti pantang menyerah, kejujuran, kesetiakawanan, ketangkasan, loyalitas, disiplin, watak satria, kasih sayang kepada sesama, dan berpikir positif.

Sejak itu, kelompok Potehi baru terbentuk dengan nama Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang. Pagelaran wayang pun mulai dijalani, mulai dari Kelenteng Boen Tek Bio di Tangerang, sejumlah mal di Jakarta, panti werda, kampus, hingga playgroup.

Dengan prinsip "Tak Wayang, Maka Tak Sayang," Rumah Cinwa mengajak keluarga-keluarga Indonesia aktif mengajak anak-anak untuk mengenal salah satu warisan budaya tak benda yang diakui United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Pendidikan karakter menjadi efektif melalui pertunjukan seni yang menyenangkan bagi anak-anak. Tak terbatas anak-anak, generasi milenial juga bisa mencari informasi aktivitas budaya Rumah Cinwa melalui media sosial dengan akun instagram @rumahcinwa.

"Semua itu merupakan upaya agar Wayang Potehi dapat terus menjadi bagian dari keragaman budaya Indonesia," ujarnya.

Sep 7, 2017

Membaca dan Menulis dari Angka-Angka

If you have the sensitiveness of reading (books), you will have developed sensibility of reading situations. 
  —Sri Mulyani Indrawati (Finance Minister of Indonesia, former Managing Director of World Bank)

Hasrat Terpendam Sri Mulyani, Ingin Menulis Novel soal APBN

YOGA SUKMANA
Kompas.com - 05/09/2017, 20:06 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani di Istana, Senin (28/8/2017).
Menteri Keuangan Sri Mulyani di Istana, Senin (28/8/2017).(KOMPAS.com/IHSANUDDIN)

JAKARTA, KOMPAS.com – Nama Sri Mulyani Indrawati melambung lagi pasca diminta Presiden Joko Widodo bergabung ke dalam Kabinet Kerja sebagai Menteri Keuangan, posisi yang juga sempat ia tempati di masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Popularitas, reputasi, dan kemampuannya dalam mengelola keuangan negara bahkan membuat sejumlah partai politik sempat mewacanakan nama Sri Mulyani sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2019.

Namun di luar itu, perempuan yang kerap disapa Ani itu sudah memiliki satu rencana dan keinginan yang terpendam sejak lama. Bila tidak lagi aktif sebagai pejabat, ia ingin menjadi seorang novelis.

"Mudah-mudahan kalau saya nanti selesai jadi menteri, punya waktu untuk menjadi penulis novel," tuturnya saat membuka acara Festival Literasi Perpustakaan di Jakarta, Selasa (5/9/2017).

Baginya, novel atau buku lainnya adalah teman yang setia. Bahkan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bercerita kerap tidur dengan buku di sisinya.

Sejak kecil, perempuan kelahiran Bandar Lampung 55 tahun silam itu sudah gemar membaca buku. Satu momen yang ia tak bisa lupa adalah kerap membawa dan membaca buku saat datang ke dokter gigi.

"Kalau anda memiliki kepekaan membaca, maka anda akan memiliki kepekaan membaca situasi," ucapnya.

Namun baginya membaca saja tak lengkap tanpa menulis. Ia mengaku selalu kagum dengan tulisan-tulisan yang mampu mengajak pembacanya ikut masuk ke dalam tulisan itu dan merasakan apa yang ditulis.

Kekaguman itu membuat Sri Mulyani berhasrat membuat novel tentang perjalanan neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selama ini sangat identik dengan angka-angka rumit.

Ia yakin, novel perjalanan APBN tak kalah menariknya dibandingkan novel-novel best seller karangan novelis-novelis terkenal.

Di akhir pidatonya, Sri Mulyani berharap agar minat membaca dan menulis terus didorong tidak terkecuali oleh jajaran pegawai Kementerian Keuangan sehingga generasi-generasi yang kaya akan literasi bisa lahir dan membangun republik yang sudah berumur 72 tahun ini.

PenulisYoga Sukmana
EditorMuhammad Fajar Marta